OM SWASTIASTU
WELCOME TO MY BLOG
Loading...

Jumat, 05 Desember 2008

Ratu Bohong VS Raja Ngibul

Ratu Bohong vs Raja Ngibul

Sebenarnya semua orang pasti pernah melakukan sesuatu yang disebut dengan kebohongan.Tiap orang memiliki kadar dan intensitas berbohong yang berbeda-beda. Berbohong adalah hal yang wajar untuk dilakukan makhluk yang namanya manusia. Manusia kan bukan makhluk yang sempurna. Tak ada yang sempurna di dunia ini kecuali rokok, gitu kata buku humor. Biasanya di saat-saat terdesak, kita sering terpaksa untuk berbohong. Bohong kan ga selamanya salah. Ada juga bohong untuk kebaikan atau istilah kerennya “white lie” gitu.

“Morning semuanya,”sapa Sisca begitu menginjakkan kakinya di ruang kelas.

“Morning juga Ratu Bohong…,"jawab yang lainnya serempak.

Sisca emang sudah menyandang gelar itu selama 2 bulan terakhir. Mau tau kenapa Sisca mendapat julukan Ratu Bohong?

Konon, hasil test menunjukkan kalau dari omongannya Sisca, 25% adalah kejujuran, 30% masih meragukan,dan sisanya sebanyak 45% murni kebohongan. Gila! Bohongnya banyak banget. Dasar Ratu Bohong! Nah, sekarang udah tau kan kenapa julukan Ratu Bohong melekat pada Sisca.

“Sis,matamu kok sembab gitu sih?”tanya Mira. “Kamu abis nangis ya?”tanyanya lagi.

“Lagi marahan ma Evan?” Sasa ikut nimbrung.

“Ah,ga kok. Kemarin aku abis chatting ampe jam 2 pagi. Eh,tau ga kemarin tu aku chatting ma Raffi Ahmad lo ,”katanya.

Ups…! Bohong banget sih! Temen-temennya yang laen pasti udah tau lah kalau dia lagi bohong. Wong kentara benget! Ada 2 alasan yang dapat menjatuhkan kebohongan Sisca dengan telak. Alasan pertama, rasanya ga mungkin deh seorang Raffi Ahmad chatting ama Sisca. Udah gitu semalaman pula. Mau dikemanain kerjaannya? Dia kan sibuk banget syuting. Artis getoo loh! Alasan kedua, yang paling fatal. Sisca kan ga punya komputer, jadi ya mana mungkin bisa chatting lewat internet ampe larut malem? Kecuali kalo emang dia secara khusus nginep di warnet. Tapi apa yang punya warnet ga bakal marah diinepin ma anak yang namanya Sisca?

Bel pun berbunyi. Pak Budiman masuk ke kelas. Ini berarti pelajaran Ekonomi akan dimulai. Anak-anak yang tadinya asyik mengerumuni Sisca, dengan sangat terpaksa harus kembali ke tempat duduknya. Walaupun Sisca suka berbohong tapi mereka tetap suka mendengar ceritanya karena terkadang ada pula kebohongan Sisca yang ga masuk akal. Jadi itu patut, kudu dan harus diketawain.

“Anak-anak, tugas laporan penelitiannya harap dikumpulkan,” kata Pak Budiman.

Sisca panik. Ia belum selesai membuat tugas. Gimana mau selesai coba, kalau tiap hari dia terus aja nunda-nunda untuk membuat tugas itu.

“Maaf saya tidak bisa mengumpulkan tugas sekarang, Pak,” kata Sisca sambil menundukkan kepalanya.

“Kenapa kamu belum mengumpul,Sis?” tanya Pak Budiman.

“Begini Pak. Kakek saya masuk rumah sakit dan harus diopname, jadi selama seminggu ini saya terus menunggui Kakek saya.”

Pak Budiman diam sejenak lalu menganggukkan kepalanya.

“Baik. Bapak mengerti. Kamu boleh mengumpulkan tugas 2 hari lagi”.

“Terima kasih Pak”. Sisca bernapas lega. Untung saja Pak Budiman, guru Ekonominya, termasuk guru yang polos. Coba kalau gurunya “killer”, bisa lain lagi ceritanya…

“Sis, kakekmu kan udah meninggal setahun yang lalu?” tanya Cindy begitu Sisca duduk kembali di kursinya.

“Yup.! Nah, justru karena itulah aku berani bilang kalau kakekku sakit. Aku kan ga mau jadi cucu yang durhaka, gara-gara berani nyumpahin kakek sendiri masuk rumah sakit. Bisa kualat nanti!” sahutnya.

“Bisa-bisanya guru juga kamu bohongi! Dasar Ratu Bohong!”

Sisca cuma bisa nyengir mendengar sebutan Cindy itu. Ia sudah kebal mendengarnya.

Saat jam istirahat, seperti biasanya Sisca duduk di depan kelas. Asyik berduaan dengan Evan, pacarnya. Ia dan Evan memang beda kelas. Sisca kelas IPS sedangkan Evan kelas IPA. Mereka sudah pacaran selama hampir 9 bulan. Kalau diibaratkan ibu-ibu yang lagi hamil, bentar lagi bakalan “mbrojol” alias lahir deh bayinya.

“Say,nanti aku ada rapat Osis. Kamu pulang sendiri aja ya, atau…kamu mau nunggu aku selese rapat?”tanya Evan.

“Hmm… Sebenernya aku mau ja sih nunggu kamu, tapi aku dah terlanjur janji mau pulang ma Cindy sekalian nengokin adiknya yang abis tabrakan. Ia kan,Cin?”

Cindy yang kebetulan lewat di depan mereka cuma tersenyum menyeringai.

“Ya udah deh kalo gitu. Aku ke kelas dulu ya, Bu Tuti dah dateng tuh”, kata Evan kemudian segera berlari ke kelasnya.

“Sis, kamu makin error ja! Masa pacar sendiri kamu bohongin juga”,kata Cindy segera setelah Evan pergi. “Emangnya sejak kapan aku punya adik?”tanya Cindy lagi.

“He..he...he… Aku cuma bohong dikit kok. Habis, aku males sih kalo harus nunggu Evan selesai rapat”,sahut Sisca. Kemudian ia duduk dengan rapi di kursinya tanpa rasa dosa sedikitpun.

“Teet… teet…teet…” Bel tanda pulang sekolah terdengar nyaring. Semua siswa menjadi berseri-seri. Sisca dan Cindy hampir bersorak kegirangan. Pelajaran Sejarah terasa sangat membosankan. Mereka hampir saja tertidur, karena mengantuk.

“Cin, aku ikut boncengan ma kamu sampai ke supermarket ya”,pinta Sisca.

Cindy menggangguk. “Ya deh, tak anterin. Aku kan orangnya ga tegaan kalo harus ngeliat kamu lumer kena sinar matahari”sahut Cindy.

Kalau dilihat dari sudut pandang ini, Cindy tampak baik banget ya. Setia kawan gitu. Tapi, coba deh kita lihat lanjutan ceritanya.

“Lagian kalo kamu jalan kaki sepatuku yang kamu pinjem dan belum dikembaliin sampai sekarang ntar bisa-bisa rusak lagi. Kacian kan ma sepatunya,”kata Cindy lagi sambil melirik kaki Sisca yang terbalut dengan lembut oleh sepatu putih bermotifkan totol-totol hitam,mirip anjing dalmation.

Tuh kan bener. Ternyata ada batu di balik udang, Eh salah! Maksudnya ada udang di balik batu.

Sesampainya di supermarket, Sisca langsung menuju ke lantai atas, arena pakaian dan aksesoris. Ia asyik melihat-lihat pakaian yang tergantung di tempatnya. Sesekali Sisca mencoba beberapa aksesoris yang lucu dan menarik.

Tapi,tiba-tiba langkahnya terhenti. Sudut matanya melihat sosok yang sangat dikenalinya. Ia melihat Evan sedang asyik bergandengan tangan dengan Luna, anak kelas satu. Mereka terlihat sangat mesra bagaikan Rama dan Sita, Romeo dan Juliet, Beauty and the Beast…

Sisca menjadi geram. Api cemburu telah membakar dirinya. “O…jadi ini toh yang kamu bilang rapat. Disini ya tempat rapatnya?”tanya Sisca ketus.

Evan terkejut melihat Sisca tiba-tiba berada di depan matanya. Ia gelagapan seperti layaknya maling ayam yang ketangkep basah lagi nyolong di siang bolong.

“Sis… kamu jangan salah paham dulu. Aku…ga ada hubungan apa-apa kok sama Luna,”sahut Evan terbata-bata.

“Apa? Kamu bilang aku ga ada hubungan apa-apa ma kamu? Kalo gitu ngapain sebulan ini kamu terus deketin aku, hah? Lepasin tangan aku! Dasar laki-laki buaya!” bentak Luna.

Andai saja saat itu diputer lagu “Lelaki Buaya Darat” nya Ratu pasti bakal lebih klop. Soalnya pas banget deh untuk menggambarkan situasi ini.

Tiba-tiba, “Plakkk!” tanpa diduga-duga tangan lembut Luna sudah mendarat dengan mulus di pipi kiri Evan. Kemudian Luna pergi meninggalkan mereka berdua.

“Na… tunggu!” Evan hendak menyusul Luna, tapi begitu melihat ekspresi wajah Sisca bak setan penjabut nyawa, ia mengurungkan niatnya. Evan masih ingin melihat mentari esok hari.

“Sis, aku bisa jelasin ini semua”,kata Evan.

“Ga da yang perlu dijelasin lagi. Aku dah ngerti semuanya. Jadi selama sebulan ini, kamu terus ngibulin aku!”. Sisca berhenti sebentar untuk mengatur napasnya yang memburu akibat emosi jiwa yang meluap-luap.

“Pantesan tiap kali aku ngajak kamu jalan, kamu selalu nolak. Pake alasan ga enak badan lah… harus nganterin mami lah…atau lagi sama temen-temen… Kamu emang Raja Ngibul!”teriaknya.

Sisca melangkah pergi. Sedih, marah dan kesal tumpah ruah tercampur menjadi satu adonan dalam hatinya. Tapi beberapa detik kemudian, ia kembali lagi menemui Evan.

Evan tersenyum menyambutnya. Ia pikir Sisca mau memaafkannya dan kembali lagi padanya.

“Tadi ada yang aku lupain,” kata Sisca.

“Apa itu, Sis?” tanya Evan penuh harap.

“Plakkk!” Sebuah tamparan kembali mendarat di pipi Evan, tapi kali ini pipi kanannya yang menjadi sasaran.

“Mulai sekarang kita putus!”teriak Sisca geram. Evan, si Raja Ngibul terdiam di tempatnya sambil mengelus kedua belah pipinya yang sakit. Sisca mulai beranjak pergi. Kali ini ia benar-benar pergi meninggalkan Evan, sendiri dan tak akan kembali untuk yang kedua kalinya.